Opini

Mental Baik Akan Tegak Diatas Sistem Yang Benar dan Sanksi Tegas

×

Mental Baik Akan Tegak Diatas Sistem Yang Benar dan Sanksi Tegas

Sebarkan artikel ini
Andy T. Nitidisastro, Dr. (No.3 dari kiri)

oleh: * Andy T. Nitidisastro, Dr.

Radarbuana.com – Renungan Akhir Tahun 2019 – Sejak lebih dari 17 tahun yang lalu, saya telah mencoba untuk melakukan rekonstruksi sistem bernegara dan berpemerintahan dengan mengadakan beberapa kali seminar dan forum grup diskusi. Di awali dengan diskusi bersama Jenderal Wiranto, Mayjen Saurip Kadi, Bambang Sulistomo, dan Profesor Hendarmin, yang dilanjutkan dengan seminar bersama Amin Rais, Yudi Latif. Setelah itu dilanjutkan dengan FGD yang diadakan oleh Profesor Sri Sumantri bersama dengan dengan professor-profesor dari beberapa perguruan tinggi di Jawa Barat, dan berakhir di gedung MPR bersama Ketua MPR Bang Taufik Kemas serta wakil ketua MPR Pak Lukman.

Dan telah disetujui oleh Ketua MPR untuk diadakan Rembug Nasional di gedung Merdeka Bandung, yang akan dihadiri sebanyak 1.000 orang, dengan dana dari MPR diserahkan kepada kepada Wakil Ketua MPR untuk dibantu anggarannya, namun kandas tanpa kabar. Itu terjadi di bulan September 2012. Dengan tema rekonstruksi sistem bernegara dan berpemerintahan agar terbangun perubahan dan perbaikan mental bangsa.

Kenapa demikian? Karena dalam sistem bernegara yang semerawut dan sistem pemerintahan yang tidak konsisten, serta mental bangsa yang buruk penuh dengan korupsi, arogan Primordialisme-Feodalisme menyebabkan seluruh institusi kenegaraan malfunction. Hanya Segelintir elite-elite kekuasaan serta pengusaha pengusaha jahat hidup dengan berlimpah keuangan. di pihak lain rakyat tertindas, sengsara, miskin dan jadi bodoh mudah di provokasi .

Ditambah lagi dengan proses globalisasi, yang seharusnya menjadi peluang malah jadi hambatan, karena juga masuknya infiltrasi idiologi-idiologi internasional, seperti kapitalisme, neo liberalisme dan trans nasional idelogi. Padahal kita mempunyai potensi bangsa yang luar biasa dengan sistem Pancasila sebagai the way of life dan sebagi Dasar Negara, di mana seharusnya ini dipahami dan diimplementasikan dalam konstitusi, undang-undang maupun perda oleh seluruh penyelenggara negara. Yang bertujuan untuk menuju masyarakat Indonesia yang makmur berkeadilan masyarakat, sosialisme Indonesia yang diawali dengan mensejahterakan petani.

Sistem bernegara adalah bersifat universal. Landasannya adalah etika moral dan estetika yang tidak boleh ada polemik di dalamnya, juga lifetime-nya untuk jangka panjang, ratusan tahun sedang sistem berpemerintahan landasannya adalah hukum.
Jadi apabila ada pelanggaran terhadap sistem bernegara, yaitu Dasar Negara dan konstitusi, maka sanksinya adalah pencabutan hak kewarganegaraannya menjadi Stateless. Sedang pelanggaran terhadap sistem berpemerintahan, maka sanksinya hukum pidana atau perdata.

Dalam sistem bernegara, kedudukan yang paling tinggi adalah Kepala Negara, yang punya empat hak hak prerogratif dan satu maklumat. Sedangkan negara terdiri dari dua elemen, yaitu jabatan karir dan jabatan politik, di mana masing-masing tidak boleh saling intervensi. Sebagai contoh, seorang jabatan Karir yaitu pegawai negeri sipil dan militer tidak boleh dengan berhenti dan satu hari kemudian ikut pemilihan jabatan politik, kecuali pensiun dulu selama tiga tahun dengan maksud merubah pola pikir jabatan karir menjadi pola pikir rakyat, yang tentunya setelah itu boleh ikut jabatan politik. Hal ini dikarenakan jabatan politik harus dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kenyataannya, di kita seorang pegawai negeri sipil ataupun militer, dalam satu dua hari mundur/ berhenti bisa mencalonkan untuk pemilihan jabatan politik. Hal inilah yang menyebabkan pemanfaatan penggunaan uang negara, fasilitas negara, dan korupsi.

Begitu pula untuk jabatan politik. Ia tidak boleh menginfiltrasi ke jabatan karir, dan membongkar pasang seenaknya, yang ber akibat orang-orang di jabatan karir berusaha untuk menjilat agar bisa mendapatkan promosi. Apa yang dilakukan oleh jabatan politik inilah juga penyebab korupsi.

Dalam sistem berpemerintahan maka harus konsisten, apakah kita sistem presidensial ataukah parlementer. Kalau sistem Presidensial, maka yang harus dipilih adalah persiden dulu baru bulan selanjutnya pemilihan anggota DPR, DPD, maupun DPRD. Masing-masing harus ada jeda waktu agar makna pemilihan pemimpin yang bebas dan rahasia bisa terjamin. Tentunya dalam sistem persidensial tidak ada istilah partai koalisi maupun partai oposan, karena setelah presiden terpilih maka presiden untuk rakyat dan parlemen maupun senator /DPD yang terpilih juga adalah untuk kepentingan rakyat. DPR maupun DPD boleh mengkritik apabila janji atau kontrak sosial yang disampaikan dalam kampanye oleh capres tidak dilakukan atau tidak sesuai dengan janjinya, dan menegosiasi besaran anggaran yang diusulkan eksekutif.

Sedangkan dalam sistem pemerintahan Parlementer yang dipilih, adalah ketua ketua partai. Apabila koalisi partai berhasil menang, maka dia berhak untuk menyusun pemerintahan. Sedangkan partai partai yang tidak bergabung dengan koalisi pemenang, maka disebut partai partai oposan, dimana kerja partai oposan tiap hari harus mengkritik pemerintahan dengan maksud untuk menarik simpati masyarakat agar pada pemilu yang berikutnya partai tersebut punya harapan jadi penenang.

Karena dalam sistem pemerintahan landasannya adalah hukum, maka sudah seharusnyalah awal pemerintahan untuk memperbaiki mental bangsa di awali dengan fit and proper test seluruh hakim dan jaksa, karena sumber dari keterpurukan ini adalah adanya mafia peradilan.

Hal ini juga pernah dilakukan di negara Jerman, saat bersatu barat dan timur, maka pemerintah melakukan fit and propertest bagi seluruh hakim dan jaksa. Ternyata hasilnya adalah hakim yang lolos hanya diperoleh sembilan orang. Dengan demikian hanya dengan adanya hakim- jaksa yang BERMENTAL baik dan sistem BERNEGARA yang benar, serta sistem BERPEMERINTAHAN yang konsisten yang dengan SANGSI yang tegas akan mampu melakukan REVOLUSI mental bangsa ini, makan barulah cita-cita Indonesia MAJU akan bisa tercapai.
Bila TIDAK demikian, maka korupsi akan makin mengganas, ditambah dengan ketidak pahaman para penyelenggara negara terhadap tujuan Pancasila sebagai THE WAY OF LIFE, yang berarti pemerintahan tidak IDELOGIS, maka cita-cita proklamasi itu akan makin JAUH panggang dari api.

Semoga tahun 2020 akan terjadi perubahan yang mendasar, kearah lebih baik bagi Bangsa Indonesia hanya dengan bantuan faktor X. Amin.

Note; Pidato Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945. Menyatakan sebagai berikut:
“UUD ini kalau boleh saya sebut adalah UUD kilat, karena hanya dibikin dalam satu hari (pada tanggal 13 Juli, padahal diberi waktu satu minggu). Karena itu apabila Negara sudah tenteram, mari kita undang kembali anggota MPR untuk bersidang menyempurnakan UUD ini agar lebih baik.…”.

Ada dua hal yang perlu digaris bawahi pengertian dari pidato Bung Karno tersebut, yaitu:
1. Amanah Bung Karno untuk menyempurnakan UUD 45 tersebut. Yang sampai saat ini belum dilaksanakan (baru di Amandemen 4 kali, hanya merupakan tarik-menarik kelompok kepentingan status quo dengan kelompok ekstra parlementer yang menghendaki demokratisasi dan lain-lain).
2. Mengundang kembali anggota MPR untuk bersidang. Artinya, MPR adalah event sidang (kongres), bukan lembaga permanen yang menjadikan pemborosan!!

Penulis: *Sekretaris Dewan Pakar PA GMNI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *