RadarBuana | Jakarta -Sorotan dari publik mencuat atas vonis bebas dalam kasus pemalsuan akta otentik yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) yang diketuai Syofia Marlianti pada Selasa (30/7), terhadap kedua terdakwa bernama Aky Jauwan dan putrinya Biksuni Eva Jauwan.
Menyikapi itu, pakar hukum dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Hendri Jayadi, memandang penjatuhan vonis ini tidak berdasar.
“Apa mungkin seseorang tanpa disuruh mau membuat sesuatu untuk kepentingan orang lain. Ini kan tidak masuk akal dan resikonya masuk penjara,” kata Hendri.
Pihaknya menilai tak keliru apabila pihak pengawas untuk segera memeriksa hakim pada persidangan tersebut.
“Sangat tepat, Katarina sebagai pelaporkan membawa kasus putusan bebas atas perkaranya ke KY dan Bawas,” ucapnya.
Sedangkan saksi pelapor dalam kasus ini, Katarina Bonggo, mengaku tak habis pikir atas dasar hakim memutuskan bebas kedua terdakwa.
“Saya menuntut keadilan, ternyata keadilan yang saya impikan dibelokkan dengan mudahnya oleh majelis hakim,” tutur Katarina.
Seperti diketahui, pada sidang sebelumnya, terdakwa Aky Jauwan dan Eva Jauwan dituntut hukuman empat tahun penjara buat Aky dan dua tahun penjara buat Eva. Namun majelis hakim dalam amar putusannya menyatakan, terdakwa Aky dan Eva tidak terbukti melakukan atau menyuruh membuat akta notaris palsu.
Atas vonis hakim itu, Katarina sebagai orang yang sangat dirugikan merencanakan melaporkan majelis hakim yang mengadili perkara pemalsuan yang dia laporkan terhadap terdakwa Aky dan Eva ke Komisi Yudisial dan Bawas. “Saya menuntut keadilan, ternyata keadilan yang saya impikan dibelokkan dengan mudahnya oleh majelis hakim,” kata Katarina kepada awak media.
Menurut Katarina, vonis bebas terhadap terdakwa Aky Jauwan dan Eva Jauwan sama sekali tidak mencerminkan keadilan bagi dirinya. Aky Jauwan dan putrinya Eva Jauwan sesuai fakta di persidangan jelas-jelas melakukan dan menyuruh melakukan pemalsuan akta otentik terkait pernikahan Katarina dengan Alexander malah dinyatakan tidak bersalah oleh majelis hakim.
“Saya bingung dan kecewa, kemana lagi saya harus mencari keadilan. Saya yang jadi korban, saya juga malah yang disalahkan oleh majelis hakim dalam amar putusannya itu,” ujar Katarina. Sudah lima tahun Katarina berjuang untuk mendapatkan keadilan, malah gagal hanya dengan satu ketukan palu hakim..
Namun tekatnya sudah bulat, Katarina akan terus berjuang untuk mendapatkan keadilan di Tanah Air tercinta ini. “Saya tidak akan berhenti berjuang, sampai kemana pun akan saya tempuh demi mendapatkan sebuah keadilan,” tegas wanita itu.
Kasus pemalsuan ini terkait pernikahan Katarina dengan Alexander yang putra kandung terdakwa Aky Jauwan pada tahun 2008 melangsungkan pernikahan secara resmi di vihara. Namun pernikahan mereka hanya berlangsung 2 tahun, karena pada tahun 2010 mereka sepakat bercerai.
Tahun 2017, Alexander meninggal dunia karena sakit. Takut harta anaknya diambil Katarina, akhirnya Aky Jauwan dan Eva Jauwan sesuai laporan Katarina ke Polda Metro Jaya nekat membuat akta palsu yang menyatakan Alexander semasa hidupnya tidak pernah menikah.
Majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan, terdakwa Aky Jauwan dan Eva tidak pernah membuat dan menyuruh membuat akta tersebut. Menurut majelis hakim, akta tersebut dirancang oleh saksi dari notaris bernama Mukmin.
Sedangka Aky Jauwan dan Eva hanya disuruh menandatangan saja setelah akta tersebut selesai dibuat . Bahkan kata hakim, orang yang mengajukan berkas untuk pembuatan akta palsu tersebut adalah Katarina sendiri. “Ini kan aneh, memang saya sudah gila ikut membuat akta yang merugikan diri saya sendiri,” tegasnya.
Dijelaskan Katarina, dirinya hanya disuruh mengantar saja berkas yang sudah disusun sendiri oleh Aky. “Saya hanya mengantar saja berkas yang sudah rapi dalam satu map. Saya juga hanya tahu berkas itu kepentingan Ancol,” tuturnya.
Dan itu dibuktikan dengan adanya chat WA yang dihapus oleh Aky Jauwan. Tapi bukti tersebut tidak ditelaah lg oleh hakim.
Saat penandatangan akta otentik yang hadir di ruangan , yakni alm notaris johny dwikora,Budi, Aky, Eva, Ernie, Metta Dewi dan Tan Gek Lui. Sedangkan saksi Mukmin tidak ada di dalam ruangan saat penandatanganan. “Saksi Budi di persidangan menyatakan saya tidak ada di ruang saat penandatangan. Tapi dibelokkan hakim, saya ikut di ruangan itu,” tegas Katarina lagi.
Menurut Katarina, pertimbangan putusan majels hakim hampir semuanya sesuai dengan nota pembelaan kuasa hukum terdakwa/ pledoi Aky Jauwan dan Eva di persidangan. Sedang fakta yang terungkap di persidangan sedikit pun tidak dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim.
(*/tom)