INFO KESEHATANKesehatanOpini

Aplikasi Ilmu Forensik di Tempat Kejadian Perkara (TKP).

×

Aplikasi Ilmu Forensik di Tempat Kejadian Perkara (TKP).

Sebarkan artikel ini
Fery Setiawan, drg., M.Si.

RadarBuana | Dewasa ini, seperti yang kita ketahui dan kita dengar di televisi kita sering mendengar tindakan kejahatan yang berpotensi melawan hukum, seperti: pencurian, penyebaran berita hoaks, pemerkosaan, pembunuhan (yang dapat disertai dengan mutilasi korbannya), dan lainnya. Perbuatan tersebut menarik perhatian dunia Forensik karena Forensik merupakan multidisiplin ilmu yang berhubungan dengan segala aspek keilmuan, mulai dari keilmuan science dan social. Forensik tidak selalu berhubungan dengan mayat tetapi juga dapat berhubungan dengan kasus pembuktian keturunan (siblingship), paternitas, hak waris, cyber crime, dan estimasi perkiraan umur melalui keilmuan Forensik.

Hal pertama yang dapat kita kaitkan dengan Forensik adalah untuk pemeriksaan terhadap kasus kejahatan seksual yang menarik ahli forensik, sebab merupakan suatu tantangan untuk dapat menemukan bukti yang dapat menjerat pelaku untuk segera disidangkan di dalam persidangan.

Hal lainnya yang harus dibuktikan apakah jenazah tersebut merupakan korban pembunuhan atau bunuh diri. Kedua kasus ini tampaknya dapat saling bertumpang-tindih di dalam proses identifikasi di tempat kejadian perkara (TKP). Hal yang patut untuk dicari adalah adanya benda mencurigakan yang ditemukan pada TKP. Proses identifikasi melalui tiga hal, yaitu: 1. Sidik jari, 2. Susunan gigi geligi, dan 3. DNA. Ketiga pemeriksaan tersebut digolongkan ke dalam pemeriksaan primer, yaitu dengan adanya kecocokan antara data yang ada sebelum korban meninggal dan data setelah korban tersebut meninggal.

Selain dengan menggunakan metode primer, dapat juga dilakukan dengan menggunakan metode sekunder, seperti: properti, tato atau tanda lahir, bekas jatuh, operasi, dan sebagainya. Terdapat istilah: “Barang bukti (BB) di tempat kejadian perkara (TKP) memang tidak dapat berbicara, namun dapat memberikan banyak informasi tentang kejadian untuk dianalisis “.
Kasus lain dapat dikaitkan dengan korban hidup adalah pembuktian keturunan (siblingship), paternitas, hak waris, dan penentuan perkiraan usia.

Terdapat dua jenis tes awal untuk pembuktian kasus-kasus tersebut yang dilakukan sebelum tes DNA disebut sebagai tes inklusi. Tes inklusi dilakukan melalui dua cara, yaitu: melalui tes golongan darah (ABO) dan Human Leukocyte Antigen (HLA). Sistem ABO mengikuti prinsip Mendellian yang dikenal sebagai bapak Genetika.

Misalkan terdapat seorang anak dengan golongan darah A. Untuk mencari keayahan dapat dilakukan pada pasangan suami-istri golongan darah A dan bergolongan darah A juga. Tidak mungkin dari pernikahan antara suami bergolongan darah B dengan istri bergolongan darah A menghasilkan anak yang memiliki golongan darah A. Tes inklusi lain yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan sistem HLA yang terdapat di dalam darah manusia.

Hal ini juga sekaligus dapat digunakan untuk menentukan status organ donor yang diberikan kepada pendonor dan resipien, serta untuk memperkecil terjadinya penolakan atau yang dalam istilah medis dikenal sebagai Graft versus host disease (GVHD) yang dapat mengakibatkan kerusakan pada organ yang didonorkan oleh pendonor kepada resipien atau penerima. Melalui kedua tes awal atau inklusi tersebut dapat diketahui apakah kasus tersebut layak diteruskan atau tidak ke dalam tahap tes DNA.

Jika terdapat suatu kekuatan bahwa tes paternitas tersebut dapat diteruskan ke dalam tahap tes DNA maka akan dapat dilanjutkan ke tes DNA, namun jika pada saat tes inklusi tidak terdapat kecocokan atau kecurigaan yang sekiranya dapat diteruskan ke dalam tahap tes DNA maka sebaiknya tidak perlu dilakukan ke dalam ranah tes yang lebih dalam, sebab hasilnya pasti “wasting time and money”.
Untuk kasus yang berhubungan dengan cyber crime maka tugas seorang ahli forensik adalah bertujuan untuk melacak dengan menggunakan teknologi yang ada.

Salah satu kasus yang memanfaatkan sistem komputerisasi forensik adalah kejahatan pembobolan minimarket, begal payudara, dan pencurian yang terekam oleh kamera Closed Circuit Television (CCTV). Sistem Komputer Forensik telah digunakan di berbagai belahan negara di dunia untuk mengatasi dan melacak kejahatan. Sistem informasi ini sering digunakan dan ditanamkan di dalam kamera CCTV dan menggunakan metode teknologi khusus yang dapat merekam dan menganalisis input wajah yang masuk dan dikenal dengan sistem biometrik Face Recognition System (FRS).

Biometrik FRS memiliki sejumlah komponen yang dapat mengenali wajah seseorang melacak wajah yang tertangkap kamera CCTV, hal ini sesuai dengan teori bahwa wajah seseorang terdapat empat belas titik yang dapat dikenali. Namun terdapat batasan yang dimiliki yaitu tergantung pada angulasi wajah subyek dan pencahayaan. oleh karena itu di dalam permodelan sistem Forensik tidak dapat berdiri sendiri dan harus merupakan kerja sama yang melibatkan berbagai sistem yang terintegritas sehingga dapat dengan mudah mengenali dan melacak.

Kasus lainnya adalah dalam perkiraan atau estimasi usia melalui pola tumbuh kembang gigi geligi di dalam rongga mulut pada seseorang yang mengikuti turnamen atau kejuaraan yang mempersyaratkan adanya batas usia minimum. Tes ini dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, yaitu: mengamati kesesuaian antara umur berdasarkan kartu tanda penduduk (KTP) dengan pengakuan yang bersangkutan, mengamati ada tidaknya tanda-tanda pubertas, dan mengamati estimasi usia melalui keadaan gigi geligi di dalam rongga mulut. Di antara beberapa cara yang telah disebutkan, tes yang paling valid adalah estimasi usia melalui keadaan gigi geligi di dalam rongga mulut.

Para pembaca yang budiman, diharapkan setelah membaca apa yang telah ditulis tentang aplikasi Ilmu Forensik di TKP yang tidak hanya sempit mengaitkan kata Forensik dengan mayat, namun Forensik memiliki cakupan makna yang luas (whole of criminality) dari berhubungan dengan manusia hidup atau jenazah, pembuktian keturunan (siblingship), paternitas, hak waris, cyber crime, estimasi perkiraan umur, dan masih banyak lagi yang mana dapat membantu kinerja aparatur penegak hukum (institusi POLRI) dalam melaksanakan tugas-tugasnya di Indonesia.

***
Penulis:
Fery Setiawan, drg., M.Si.
Dosen di Departemen Odontologi Forensik, Institute Ilmu Kesehatan (IIK), Bhakti Wiyata, Kediri, Jawa Timur, 64114.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *