RadarBuana | Jakarta – Sekitar 50 mahasiswa dari Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia DPC Tangsel desak pihak terkait agar tuntaskan dugaan kasus Bullying dan Pelecehan di Binus School Simprug. Dan memproses semua pelaku yang terlibat langsung maupun tidak.
Para pendemo berunjuk rasa pintu masuk gedung Binus School Simprug, Jumat 13 September 2024bsembati membentangkan spanduk dengan 5 tuntutan, bertuliskan :
1. Polda Metro Jaya ambil alih kasus dugaan bullying, pengeroyokan, dan kekerasan Seks di Binus School Simpurug yang melibatkan Keannu, Rayyan, Kennedy, Calvine selaku murid sekolah tersebut”.
2. Mendesak dan meminta polda Metro ro Jaya dalami kasus dugaan dugaan bullying, pengeroyokan, dan kekerasan seksual di Binus School Simpurug, karena Jakarta Selatan diduga mandul dalam penegakan hukum. polres Jakarta Selatan diduga mandul dalam penegakan hukum.
3 Mendesak kemendikbud agar turun untuk mengevaluasi yayasan Binus dan memberikan sanksi atas pembiaran kasus Bullying.
4 Puasa malum dan menetapkan status hukum atas perbuatan Keannu, Rayyan, Kennedy, Calvin terhadap korban.
5.Maminta permohonan maf kepada suku etnis Minangkabau, karena perkataan Krannu, Rayyan, Kennedy, Calvine yang mengandung unsur Rasisme.
Dengan tag #binusbudidayabullying
Dalam orasinya Ketua Umum Pengurus Perhimpunan Mahasiswa Hukum Cabang Tangerang Selatan, Syamsul Bahri Rumalutur mengatakan, Bullying merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia dan merusak martabat seseorang. Dalam perspektif hukum, bullying dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan, intimidasi, atau pelecehan yang dapat menimbulkan dampak psikologis, emosional, bahkan fisik pada korban.
Menurutnya hukum di Indonesia telah mengatur berbagai bentuk kekerasan dan perlindungan terhadap korban, namun implementasinya dalam kasus bullying sering kali kurang optimal.
“Secara hukum, bullying merupakan suatu bentuk kekerasan. Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 6 Permendikbud 46/2023 yang menjelaskan bahwa kekerasan di sekolah dapat dilakukan secara fisik, verbal, nonverbal, dan/atau melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang terdiri atas, kekerasan fisik,kekerasan psikis, perundungan,kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan dan bentuk kekerasan lainnya,” tandasnya.
Ia menjelaskan, bahwa kemudian kasus bullying serta rasisme baru-baru ini terjadi, persis pada tanggal 30-31 Januari 2024 di Binus School Simprug yang bisa dikatakan elite dan diisi dengan keluarga pejabat negara juga, oleh sebab itu maka sekolah yang taraf kelasnya yang elit dan standar yang unggul harus dapat mempertanggungjawabkan institusi sekolah tersebut sebagai sekolah yang aman bagi anak didiknya dan pun tenaga pendidiknya sampai pemimpin yayasan sekolah tersebut harus dapat mencerminkan tenaga pendidik yang baik, yang mana sikapnya harus tegas dalam menindaki pelaku bullying. “Sekolah tersebut juga dapat disebut sekolah taat hukum ketika yang melakukan perbuatan pidana dihukum bukan dilindungi pelaku bullying, pengeroyokan, dan rasisme,” pungkas Syamsul.
Kemudian pihak sekolah, lanjutnya, harus mengetahui bahwa Terkait dengan kewajiban sekolah secara hukum untuk melindungi siswanya dari tindakan bullying, hal tersebut mengacu pada ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1a) UU 35/2014 yang berbunyi: “Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan dari satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”. Maka kemudian diatur jaga di dalam UU yang sama bahwa pelanggaran terhadap ketentuan pasal yang telah disebut dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014 yaitu pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.
Maka adapun sekolah binus tempat terduga korban telah telah dipersekusi haknya, menjanjikan upayah pemulihan dalam konteks kepentingannya di dalam mengenyam pendidikan pada akhirnya tidak sepenuhnya benar sesuai apa yang dijanjikan, pengakuan ini dilontarkan oleh pihak keluarga korban. Maka kesesuain yang harusnya ditepati malah berupa kerugian dalam aspek pendidikan korban, sehingga timbul pertanyaan yang keras kepada Binus School Simprug apa benar secacat itukah pola pengasuhan kepada penyintas korban kekerasan.
Visum et Repertum terhadap Anak korban menjadi bukti yang kuat juga tidak menjadi pertimbangan kepada pihak sekolah untuk membawa anak tersebut agar disidang etik sehingga jalan satu-satunya untuk Drop Out harus diambil Keputusan itu, tetapi yang jalan diambil adalah skorsing, tidak habis pikir ketidakseriusan pihak sekolah hanya memandang bahwa perilaku tersebut hanya di hadiahkan hukuman yang ringan, bahkan ketidaktransparan terjadi dengan tidak membuka kepada orang tua korban nama-nama daripada pelaku tersebut, sungguh miris dan sedih cerminan dari tempat belajar yang harapanya bijaksana dan perhatian kepada pihak korban tidak sama sekali didapatkan.
“Adapun didalam peristiwa yang mengiris hati itu, ada perkataan yang sangat disayangkan oleh pelaku yakni disebut-sebut sebagai ketua geng dengan inisial K terhadap korban, dikutip bahwa “kamu ternyata orang Padang yah? orang padang tidak pantas sekolah disini. Kalau misalkan kamu mau bergaul dengan kita, kamu ngga boleh jadi orang Padang,orang Padang itu orang kampung tidak pantas sekolah di Internasiol ini.” Pada saat yang sama juga korban ini dilecehkan dengan memegang tubuh sensitifnya. K inisialnya adalah kepala di dalam kelompok ini yang juga menekan korban untuk menjadi tameng pada saat tawuran dengan sekolah lain, maka banyak penilaian dapat kita ambil kepada anak pelaku dan beserta kelompoknya bahwa mereka semuanya tidak mencerminkan anak didikan sekolah yang katanya standar Internasional itu,’ tegasnya.
Maka Permahi Tangsel miris, memandang bahwa kian lama muncul kesimpulan adanya ketimpangan relasi kuasa dalam penyelesaian dugaan kasus Bullying, pengeroyokan hingga tindakan pelecehan seksual ini bahwa jika ditracking siapa saja yang menjadi pelaku dalam historis perbuatan tercela ini, orang tua atau si keluarga pelaku terdapat nama-nama pejabat atau orang yang mempunyai pengaruh besar di republik ini kemudian dapat dipahami seakan-akan penegakan hukum tumpul atau tidak mempunyai marwah untuk memberikan kepastian hukum di dalam kasus ini. Bayangkan sudah hampir terhitung kurang-lebih satu tahun belum juga ada proses adjudikasi dengan dalih baliwa harus mengedepankan restorative justice atau diversi padahal itikad baik oleh si pelaku tidak dapat dilihat sejauh mana ingin melakukan proses itu.
Akhirnya dalam semua kutukan tindakan pembiaran perbuatan bullying oleh pihak sekolah dan stigma hukum itu tumpul ke atas tajam ke bawah akan menjadi sebuah kesesasatan dalam pendidikan dan bernegara, yang pada tujuan kita yakni ingin mengembalikan esensi pendidikan dan negara hukum toh
“Semoga surat ini sampai kepada presiden RI bapak Jokowi Widodo, Mendikbud bapak Nadim Makarim, dan bapak Kapolri Listyo Sigit Prabowo, M.Si. hingga nanti semua yang menjadi penonton daripada kasus ini menilai sampai dimana kepastian hukum itu ada dan apakah keadilan hanya menjadi barang elite saja,” pungkas Ketua Umum Pengurus Perhimpunan Mahasiswa Hukum Cabang Tangerang Selatan, Syamsul Bahri Rumalutur
(igo)