Hukrim

SETARA Institute: Perlu Terobosan Substansial Atasi Konflik TNI-Polri

×

SETARA Institute: Perlu Terobosan Substansial Atasi Konflik TNI-Polri

Sebarkan artikel ini
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi.(foto pribadi)

RadarBuana | Jakarta – Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi mengecam keras aksi penyerangan Markas Polres Tarakan, Kalimantan Utara dan penganiayaan keji oleh sekitar 20 anggota TNI terhadap anggota Polri. Penyerangan ini adalah tindakan keji, premanisme dan manifestasi Esprit de Corps atau jiwa korsa yang keliru dan memalukan.

“Apapun motivasi dan latar belakang peristiwa penyerangan dan penganiayaan ini, tetap tidak bisa dibenarkan dan harus diproses secara hukum dalam sistem peradilan pidana umum,” ujar Hendardi dalam keterangannya, Selasa (25/2).

Sebelumnya, Markas Polres Tarakan diserang sekelompok oknum diduga oknum Anggota TNI pada Senin (24/2) sekitar pukul 23.00 WITA. Dalam insiden tersebut lima personel Polres Tarakan dilaporkan mengalami luka-luka dan sejumlah fasilitas kantor rusak.

nformasi yang dihimpun, sekitar pukul 22.45 WITA, sekelompok oknum TNI yang berjumlah sekitar 20 orang tiba di depan Bank Mandiri di Jalan Yos Sudarso menggunakan truk berwarna hijau. Mereka kemudian berjalan kaki menuju Mako Polres Tarakan sambil membawa batu, kayu, dan besi.

Berdasarkan Catatan SETARA Institute, konflik yang mengemuka dan menjadi kekerasan antara TNI dan Polri terus berulang.

Data SETARA Institute menyebutkan tidak kurang dari 37 konflik dan ketegangan terjadi antara tahun 2014-2024. Menurut Hendardi, angka ini merupakan fenomena gung es, dimana konflik dan ketegangan yang tidak mengemuka, dipastikan lebih banyak dari yang tercatat di permukaan.

Ironisnya, hampir semua konflik lapangan dipicu oleh persoalan-persoalan yang tidak prinsipil dan tidak berhubungan dengan tugas kemiliteran seperti persoalan pribadi, ketersinggungan sikap, penolakan penindakan hukum sipil, kesalahpahaman dan provokasi kabar bohong atas suatu peristiwa yang melibatkan anggota TNI dan memicu penyerangan terhadap anggota atau markas polisi.

Sekalipun tidak berhubungan dengan tugas kemiliteran, tindakan-tindakan itu tidak diproses dalam kerangka hukum pidana sebagaimana mandat UU TNI, dimana anggota yang melakukan tindak pidana umum, harus diproses dalam kerangka pidana umum.

“Supremasi anggota TNI yang tidak tunduk pada peradilan umum inilah yang menjadi salah satu sebab keberulangan peristiwa,” imbuhnya.

Sementara, ketegangan di tingkat elit, sekalipun tidak mengemuka, dipicu oleh perebutan kewenangan operasi di daerah tertentu, pemeranan yang dianggap tidak merata dalam jabatan non-militer, dan berbagai residu politik masa lalu, dimana sebelumnya Polri adalah bagian dari TNI.

Selama ini, penanganan konflik dan ketegangan di akar rumput hanya diselesaikan secara simbolis dan di tingkat elit.

Kondusivitas dan sinergi artifisial selalu didengungkan oleh TNI-Polri, tetapi tidak menyelesaikan akar persoalannya, termasuk abai membangun karakter dan mentalitas patriotik anggota.

Dia menegaskan, penanganan konflik dan ketegangan secara substansial dan fundamental harus menyasar kepatuhan pada disiplin bernegara dan berdemokrasi, yang meletakkan supremasi sipil sebagai pemimpin politik.

Masing-masing institusi, sesuai dengan desain konstitusional menjalankan perannya, tanpa melampaui batas-batas tugas dan fungsi yang bukan merupakan mandat konstitusionalnya.
Tuntutan peningkatan disiplin dalam berdemokrasi juga dialamatkan pada politisi-politisi sipil yang tidak percaya diri, tanpa melibatkan TNI dan Polri. Politisi tidak perlu menggoda TNI-Polri memasuki arena yang bukan merupakan tugas dan fungsinya.

Pembejalaran dari berbagai konflik dan ketegangan TNI-Polri, mesti menjadi pedoman bagi DPR yang sedang berencana merevisi UU TNI, UU Polri, UU Kejaksaan, dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) agar tetap patuh dan konsisten pada desain konstitusional dan ketatanegaraan yang sudah menggariskan tugas dan fungsi masing-masing institusi, sebagaiman selama ini berjalan.

“Jangan mencoba merekayasa pasal yang melampaui ketentuan UUD Negara RI 1945, hanya karena ingin memanjakan institusi-institusi tertentu, yang justru menimbulkan kekacauan konstitusional dan instabilitas politik baru,” pungkasnya.

(tom)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *