Radarbuana | Bekasi – Pelaksanaan eksekusi pengosongan rumah milik pasangan Suryansyah – Sukmawati di Perumahan Citra Grand Cluster Cypres, Blok N8/62 Cibubur, Bekasi pada Selasa (15/4/2025) menuai protes keras dari tim kuasa hukum mereka, Ardiansyah, SH,. MH. dan Fadhly, SH, MH dari Kantor Hukum AF&P (Ardiansyah Akhmad – Fadhly & Partner) menyebut bahwa eksekusi tersebut sebagai tindakan prematur, bertentangan dengan prinsip hukum, dan dilakukan secara paksa meskipun di klaim sebagai eksekusi sukarela.
“Kami menyatakan secara tegas tidak mengakui proses eksekusi ini. Dalam surat resmi PN. Bekasi disebutkan ini adalah eksekusi sukarela, tapi kenyataannya jelas-jelas berlangsung secara paksa,” ujarnya di lokasi eksekusi. Ia menambahkan, baik Suryansyah Noor maupun Sukmawati merasa hak-haknya sebagai pihak termohon eksekusi telah “dikebiri”.
Menurutnya klien mereka tidak pernah diberi ruang untuk menjelaskan posisi hukumnya dalam proses lelang yang dilakukan oleh PT. Bank Mandiri terhadap aset yang dijaminkan (HT). Ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) :
1. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 93/PMK.06/2010. Tentang petunjuk pelaksanaan lelang tertanggal 23 April 2010.
2. Peraturan Menteri keuangan No. 106/PMK.06/2013 tentang perubahan PMK No.93 dan
3. Peraturan Menteri Keuangan No. 213/PMK.06/2020 ; tertanggal 23 Desember 2020 dan baru diberlakukan pada 23 Maret 2021 tentang Lelang, yang secara eksplisit mewajibkan pemberian informasi dan akses terhadap proses tersebut kepada debitur.
Dugaan Lelang Tertutup dan manipulatif serta Sarat Kejanggalan
Ia menyebut bahwa proses lelang yang memenangkan seseorang bernama Suhardi La Maira sebagai pemenang lelang, berlangsung dengan tidak transparan. “Kami tidak pernah mendapatkan risalah atau groce lelang. Lelang ini kami nilai sebagai lelang tertutup atau terkondisi,” kata Ardiansyah.
Meski telah melakukan klaim sebagai pemilik baru, Suhardi disebut tidak pernah menunjukkan bukti sertifikat asli ataupun dokumen sah lainnya kepada pihak termohon eksekusi maupun kuasa hukumnya. Bahkan saat diajak berdialog, bukti kepemilikan tidak pernah diperlihatkan.
“Kalau memang merasa punya, harusnya bisa tunjukkan dokumen legalitas seperti sertifikat atau bukti pembayaran PBB. Tapi ini tidak ada. Justru ada indikasi intimidasi kepada klien kami dan bahkan kepada pengurus lingkungan RT dan RW,” ungkapnya.
Gugatan PMH dan Upaya Hukum Berlapis
Sebagai respons atas tindakan yang dinilai melanggar hukum ini, kuasa telah mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ke Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor perkara: 40/Pdt.G/2025/PN Bks sejak Januari 2025.
Dikatakan Fadly, gugatan tersebut ditujukan kepada lima pihak sekaligus, yaitu:
1. PT Bank Mandiri selaku pihak pemberi kredit dan pemohon lelang,
2. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL),
3. Badan Pertanahan Nasional (BPN),
4. Suhardi La Maira sebagai pemenang lelang,
5. Notaris/PPAT terkait yang mengurus proses balik nama sertifikat HGB.
Gugatan tersebut ditujukan untuk menguji keabsahan lelang dan alih hak kepemilikan tanah dan bangunan yang selama 13 tahun ditempati oleh klien mereka sejak masa pembangunan awal di atas tanah kavling.
Sebelumnya, pada tahun 2023, klien mereka dinyatakan sebagai nasabah bermasalah (kolektibilitas 5) oleh PT Bank Mandiri. Namun, gugatan pertama yang dilayangkan oleh kuasa hukum yang sebelumnya (_kantor law firm lain) dan sebelum ditangani oleh kantor hukum AF&P sempat dinyatakan NO (Niet Ontvankelijke Verklaard yang berarti putusan tidak dapat diterima) alias ditolak karena kurang pihak, pemenang lelang.tidak turut menjadi pihak tergugat.
“Karena putusan di-NO itu, kami mengajukan gugatan baru dengan memperbaiki gugatan sebelumnya, melengkapi pihak-pihak tergugat lainnya. Ini upaya hukum yang sah, dan seharusnya menjadi pertimbangan pengadilan untuk menunda proses eksekusi,” tegasnya.
Eksekusi Prematur, Abaikan Asas Kehati-hatian
Kuasa hukum menilai pelaksanaan eksekusi hari ini sebagai tindakan terburu-buru yang bisa merugikan banyak pihak. “Bayangkan jika gugatan ibu Sukmawati nanti dimenangkan, dan pengadilan menyatakan lelang batal demi hukum. Tapi rumahnya sudah dieksekusi. Ini jelas merugikan,” ujarnya.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak agar pengadilan dan aparat hukum menghormati proses hukum yang sedang berjalan, dan menunda eksekusi sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Langkah selanjutnya Fadhly mengatakan akan melakukan gugatan PMH jilid-II atas perbuatan melawan hukum “Onrechtmatige daad, mewajibkan pelaku untuk mengganti kerugian karena bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian.
“Aturan onrechtmatige daad diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
Pelaku yang bertanggung jawab atas kerugian tersebut harus menggantinya. Kerugian ini bisa berupa kerugian materiil atau non-materiil. Korban dapat mengajukan tuntutan terhadap pelaku,” jelasnya.
Selain gugatan PMH yang sedang berjalan, sambungnya, pihak kuasa hukum juga akan mengambil langkah-langkah hukum lainnya.
Menggugat atas ancaman, intimidasi dan teror yang dilakukan oleh pemenang lelang terhadap klien mereka.
Pentingnya Menguji Prosedur Lelang
Secara hukum, kuasa hukum menyatakan mereka sedang menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum, untuk menguji apakah prosedur lelang yang dilakukan oleh bank Mandiri dan KPKNL telah sesuai dengan aturan.
“Kalau pengadilan menyatakan prosedur lelang cacat hukum, maka lelang bisa dibatalkan. Ini hak klien kami yang harus dihormati,” tegasnya.
Kuasa hukum berharap semua pihak, termasuk lembaga peradilan dan aparat penegak hukum, tidak terburu-buru mengambil tindakan yang bisa melanggar hak warga negara. “Hormati dulu proses hukumnya. Tunggu sampai ada keputusan pengadilan yang sah. Jangan ambil langkah gegabah,” pungkasnya.
Sementara itu Sukmawati selaku pemilik rumah yang dieksekusi didampingi kuasa hukumnya mengungkapkan, bahwa seharusnya eksekusi hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yang memutus perkara dan setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun dalam kasus ini, eksekusi tetap dilakukan meskipun belum ada putusan final dari pengadilan.
“Belum ada putusan yang inkracht, tapi pemohon sudah bertindak di luar batas kewajaran,” tandasnya.
Ia mengungkapkan, bahkan berbagai tindakan yang dinilai merugikan kliennya telah dilakukan pemohon, seperti pengambilan mesin air, pencopotan meteran listrik, dan intervensi terhadap asisten rumah tangga hingga karyawan lainnya yang bekerja untuknya. Lebih jauh, barang-barang pribadinya disebut dibuang secara sepihak saat ia tidak berada di rumah, bahkan kunci rumah diganti tanpa pemberitahuan.
“Saya ada bukti foto dan video. Ini tidak bisa dilakukan secara mandiri. Ini bukan prosedur yang benar,” ungkapnya.
Sukmawati juga menyampaikan kekecewaannya karena tindakan pengusiran tersebut dilakukan pada saat bulan suci Ramadhan, saat umat Muslim seharusnya menahan diri dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
“Dia bilang bahwa dia seorang Muslim, dan katanya lawyer juga, tapi tidak menjalankan kaidah sesuai hukum. Bahkan di bulan puasa, dia tetap lakukan teror dan intimidasi,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa dirinya tidak akan tinggal diam menghadapi tindakan yang menurutnya tidak adil dan tidak manusiawi.
“Cukup saya saja yang jadi korban. Saya akan tetap lawan, tapi dengan cara yang benar. Saya sudah keluar dari rumah itu, tapi cara pengusiran yang dilakukan tidak beradab,” tegas Sukmawati.
Kuasa hukum berharap kasus ini mendapat perhatian dari pihak berwenang, termasuk aparat penegak hukum dan pejabat terkait, wabil khusus lembaga peradilan yang kredibelitasnya banyak mendapat sorotan negatif masyarakat untuk mencari keadilan, ekspektasi dan harapan agar kejadian serupa tidak menimpa masyarakat lainnya.
(igo)