Radarbuana | Jakarta – Pertarungan kepentingan di balik proyeksi suram defisit gas nasional antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar, dan Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Arief Setiawan Handoko, membuka tabir kelam implementasi Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001. Pakar ekonomi energi senior, Dr. Kurtubi, tanpa tedeng aling-aling menyebut konflik ini sebagai manifestasi nyata dari undang-undang cacat yang terus menerus merugikan kepentingan negara.
“Konflik yang kita saksikan ini bukan sekadar perselisihan data, melainkan alarm bahaya dari sebuah undang-undang yang sudah usang dan terbukti gagal. Lebih dari dua dekade produksi migas kita terus menurun, sementara belasan pasal krusialnya telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Ironisnya, UU yang jelas-jelas merugikan ini masih saja menjadi landasan pengelolaan energi kita,” tegas Kurtubi dalam pernyataan persnya, Jumat (16/5/2025).
Kurtubi, yang memiliki rekam jejak akademis mentereng dari FEUI, IFP Prancis, dan Colorado School of Mines (CSM), serta pengalaman mengajar di berbagai universitas terkemuka, menilai bahwa perbedaan tajam antara proyeksi defisit gas PGN dan bantahan Menteri Bahlil adalah konsekuensi logis dari ketidakjelasan dan tumpang tindih kewenangan yang diakibatkan oleh UU Migas yang lemah.
Menteri Bahlil pun merespons kekhawatiran PGN terkait potensi defisit gas yang diprediksi mencapai 513 MMscfd pada 2035, bersikukuh bahwa proyeksi ketersediaan gas adalah ranah Kementerian ESDM dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). “Yang menangani soal potensi gas itu adalah SKK Migas dan Kementerian ESDM. PGN itu kan hanya menerima data dan hasilnya,” ujarnya, meremehkan proyeksi anak perusahaan BUMN tersebut.
Namun, Kurtubi melihat lebih dalam akar permasalahan ini. Menurutnya, UU Migas yang ada saat ini tidak mampu menciptakan kepastian dan kejelasan dalam pengelolaan sumber daya alam strategis seperti gas. Konflik terbuka antara pembuat kebijakan (Menteri) dan pelaksana (Dirut BUMN) adalah bukti nyata dari lemahnya kerangka regulasi.
Kurtubi tidak hanya menyoroti sektor migas, tetapi juga pengelolaan sumber daya alam pertambangan minerba yang dianggapnya jauh dari amanat Pasal 33 UUD 1945. Ia menawarkan solusi radikal namun mendasar: mencabut UU Migas No. 22 Tahun 2001, UU Minerba No. 4 Tahun 2009, dan UU Minerba No. 3 Tahun 2020.
Sebagai gantinya, Kurtubi mengusulkan penerapan sistem Production Sharing Contract (PSC) murni berbasis hubungan bisnis-ke-bisnis (B to B) antara negara—melalui badan usaha khusus pemegang kuasa pertambangan (PNPKP) dengan para investor. “Skema PSC akan secara signifikan meningkatkan bagian negara dari keuntungan investor, dengan idealnya 65 persen untuk negara dan 35 persen untuk investor setelah cost recovery. Bahkan, saat harga komoditas melonjak, Presiden harus memiliki kewenangan untuk menaikkan porsi negara hingga 85 persen,” paparnya.
Selain itu, ia mendesak penghapusan sistem konsesi (IUP dan kontrak B to G) dan mewajibkan seluruh devisa hasil ekspor SDA untuk masuk ke dalam sistem keuangan nasional, mengakhiri praktik penempatan dana di luar negeri yang dianggap merugikan kepentingan bangsa.
Konflik yang kini mencuat ke permukaan, menurut Kurtubi, adalah momentum krusial untuk melakukan reformasi total di sektor energi dan sumber daya alam. Jika tidak, kerugian negara akibat pengelolaan yang tidak efisien dan regulasi yang lemah akan terus berlanjut, menggerogoti potensi kekayaan alam yang seharusnya mensejahterakan rakyat Indonesia.
(*/Igo)