CirebonKesehatan

Diduga RS Putera Bahagia Tolak Pasien, Berdalih Tidak Sesuai Kreteria BPJS

×

Diduga RS Putera Bahagia Tolak Pasien, Berdalih Tidak Sesuai Kreteria BPJS

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Rumah Sakit Siloam Putera Bahagia Kota Cirebon.,(foto:ist)

Radarbuana | Kota Cirebon –  Rumah Sakit Siloam Putera Bahagia Kota Cirebon diduga menolak pasien BPJS Kesehatan yang hendak berobat ke Instalasi Gawat Darurat (IGD). Penolakan ini diduga berkaitan dengan aturan baru BPJS Kesehatan yang membatasi layanan bagi pasien dengan kriteria tertentu. Selasa (03/06/2025).

Salah satu warga yang mengalami kejadian tersebut adalah Dita (23), warga Kalijaga, Kecamatan Harjamukti. Ia mengaku ditolak saat hendak berobat ke IGD RS Siloam Putera Bahagia menggunakan BPJS Kesehatan.

“Adik Saya waktu itu sakit nonjok di Uluhati dan sekitar perut sudah tidak kuat, sehingga terpaksa coba berobat ke rumah sakit. Namun, saat sampai di sana adik saya ditolak karena tidak memenuhi kriteria sebagai pengguna BPJS,” ujar Kiki

Menurutnya, pihak rumah sakit mengatakan bahwa mereka hanya menerima pasien BPJS yang masuk dalam kategori gawat darurat. dan pasien hanya diberikan obat berupa parasetamol.

“Pas ke sana hanya bisa menerima pasien yang darurat atau hampir mati. Masa adik saya harus kritis dulu baru bisa dilayani? Kan gak mungkin. Saya pakai BPJS bayar, gak gratis, tapi aturannya begini, kejadian ini juga pernah menimpa tetangga di rumah” ungkapnya.

Diarahkan ke Faskes 1 dalam hal ini Puskesmas, Tapi tidak beroperasi di Malam Hari di Kota Cirebon.

Kiki menjelaskan bahwa kejadian tersebut terjadi beberapa waktu lalu pada tanggal 9 Mei 2025, sekitar pukul 22.00 WIB. Saat itu, adiknya bernama Dita sudah tidak kuat menahan sakit sehingga memilih datang ke IGD Rumah Sakit’ terdekat. Namun, ia justru disarankan untuk berobat ke puskesmas atau klinik.

“Bayangkan saja, puskesmas mana ada yang buka di malam hari? Kenapa adik saya datang malam hari? Karena adik saya sudah tidak kuat menahan rasa sakit. Bagaimana kalau kondisi semakin parah jika harus menunggu sampai besok?” ujarnya.

Sedangkan posisi RS Siloam PB memang berada dilingkungan Perumahan Perumnas masih lingkup Kecamatan Harjamukti.

Akhirnya keluarga pasien tak kuasa dengan penolakan pihak IGD RS Siloam PB, dengan berat hati meninggalkan ruangan IGD menuju rumah.

Namun selang beberapa jam kemudian sekitar jam 03.00 WIB Dita sudah tak kuasa menahan sakit yang dirasakannya. Kemudian dibawa ke IGD Rumah Sakit TNI Ciremai langsung ditangani dengan tindakan infus dan injeksi, perlahan-lahan yang bersangkutan mulai membaik.

Hingga esok harinya sekitar jam 06.00 WIB, pasien melakukan pemeriksaan darah dan EKG. Kemudian 4 hari pasien sudah dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang ke rumah.

Berdasarkan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, rumah sakit dilarang menolak pasien dalam kondisi darurat dan wajib memberikan pelayanan tanpa meminta uang muka.

Ketentuan serupa ditegaskan kembali dalam:

Pasal 85 UU Kesehatan: mewajibkan fasilitas pelayanan kesehatan untuk memberikan layanan dalam keadaan bencana atau darurat.

Pasal 190 UU Kesehatan: memberi ancaman pidana 2 tahun penjara dan denda hingga Rp.200 juta bagi tenaga medis atau pimpinan rumah sakit yang sengaja tidak memberi pertolongan pertama. Jika menyebabkan kecacatan atau kematian, sanksi naik hingga 10 tahun penjara dan denda Rp.1 miliar.

Tak hanya itu, UU Rumah Sakit No. 44 Tahun 2009 juga mewajibkan penanganan gawat darurat tanpa diskriminasi. Jika dilanggar, rumah sakit bisa dikenai sanksi administratif berupa teguran, denda, hingga pencabutan izin operasional.

Sementara dalam UU Tenaga Kesehatan No.36 Tahun 2014, disebutkan tenaga kesehatan wajib memberikan pertolongan pada pasien dalam keadaan gawat darurat meskipun tanpa persetujuan pasien atau keluarga.

Secara etik, penolakan tindakan medis darurat juga termasuk pelanggaran disiplin profesi. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 4 Tahun 2011 menyebut bahwa dokter yang tidak menolong pasien dalam keadaan darurat, padahal mampu, telah melanggar disiplin profesional.

Hal ini juga tercermin dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (Pasal 17) yang menyatakan: “Setiap dokter wajib memberikan pertolongan darurat sebagai wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan mampu memberikannya.”

Hingga berita ini tayang awak media kurang lebih 6 (enam) hari tidak mendapatkan penjelasan terkait peristiwa diatas. Sebelumya pihak media mencoba klarifikasi pada pihak RS Siloam PB dan bertemu dengan perwakilan dari staff RS Aisyah Salim dan menjanjikan mempertemukan dengan Direktur RS Siloam PB, namun selang. beberapa jam kemudian staff RS berdalih menanyakan identitas pasien (E-KTP) yang ditolak.

Patut dan wajib menjadi informasi khalayak umum bahwasannya pasien saat di IGD RS Siloam PB dalam kondisi sepi dan tidak penuh.

Namun setelah diberi informasi terkait nama pasien, staff tersebut lagi-lagi berdalih bahwa nama Dita di IGD ada 25 orang. Padahal sudah sangat jelas jam pasien tersebut masuk dan dipulangkan saat itu. Apabila benar pasien yang dimaksud masuk dalam database pasien IGD RS Siloam PB pasti ada datanya. Patut diduga memang pihak RS Siloam PB Cirebon tidak mau bertemu dan alergi dengan awak media, sangat disesalkan perlakuan tersebut yang meremehkan awak media.

Kiranya Kementrian Kesehatan dapat mengevaluasi terkait aturan atau kriteria BPJS yang baru, jangan sampai aturan tersebut merugikan masyarakat penguna BPJS Kesehatan. Dan diduga menjadi celah pihak rumah sakit untuk menolak pasien peserta BPJS, hanya demi mencari keuntungan dari perputaran uang tunai yang masuk.

(Rio)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *