Radarbuana | Jakarta – Sabtu pagi itu, Jakarta seperti memeluk haru yang tak terucapkan. Di bawah lengkung kubah Masjid Istiqlal yang agung, gema takbir bergaung seraya merayakan kebahagiaan seratus pasangan yang bersatu dalam prosesi Nikah Massal Gratis. Tapi di antara lautan senyum muda dan gaun pengantin putih yang mengular, sepasang mata tua saling menatap dengan hangat—mata yang telah lama menyimpan rindu yang belum sempat diresmikan.
Dialah Supriyadi Yanuar (64) dan Susiati (54)—dua jiwa yang menyemai cinta dalam senyap usia. Mereka bukan pasangan muda yang baru menemukan getar cinta pertama, melainkan dua hati yang telah melalui musim-musim patah, lalu memilih untuk tumbuh bersama, meski waktu tak lagi muda.
Supriyadi adalah duda, ditinggal sang istri tercinta sejak 2021, ketika dunia sedang diguncang pandemi. Susiati, seorang janda sejak 2009, telah lama belajar berdiri di antara sepi. Mereka bertemu dalam sunyi pandemi, di tahun yang gelap bagi banyak orang, namun ternyata menjadi tahun yang mempertemukan dua cahaya.
“Akhirnya, kami bisa menikah secara resmi,” ujar Supriyadi, suaranya parau oleh rasa syukur yang lama terpendam. “Sudah lama kami niatkan, tapi hidup tak selalu memberi jalan yang mudah.”
Dibantu petugas KUA dari Ciracas, mereka mendaftar untuk ikut serta dalam program nikah massal. Di hadapan para saksi dan cahaya lampu masjid yang lembut menyinari wajah-wajah penuh harapan, Supriyadi mengucap ijab kabul dengan suara mantap. Tangannya menggenggam tangan saksi, tapi hatinya menggenggam takdir.
Susiati berdiri di sampingnya, mengenakan kebaya sederhana, namun matanya memantulkan kebahagiaan yang tak bisa disulam oleh usia. “Kami ini menikah bukan untuk memulai lagi, tapi untuk menyempurnakan yang tersisa,” tuturnya dengan suara lirih.
Bagi mereka, cinta bukan sekadar degup jantung muda. Cinta adalah keikhlasan untuk tetap tinggal, meski waktu terus berjalan. Pernikahan bukan sekadar prosesi, melainkan janji untuk saling menopang hingga titik akhir perjalanan.
“Usia hanyalah angka,” ujar Susiati, matanya berkaca-kaca. “Tapi semangat kami untuk meraih rida Allah tak pernah merasa tua.”
Di akhir prosesi, tangan-tangan negara menyerahkan buku nikah, mushaf suci, seperangkat alat salat, dan bingkisan kecil dari sponsor. Namun, lebih dari itu, mereka menerima sesuatu yang tak terbungkus oleh plastik atau pita—pengakuan, penghormatan, dan restu dari langit.
Dalam gema doa yang melangit di Masjid Istiqlal pagi itu, mungkin terdengar bisikan Tuhan: bahwa cinta yang datang di ujung usia pun tetap suci, tetap layak dirayakan, dan tetap pantas untuk dihalalkan.
Dan bagi Supriyadi serta Susiati, pernikahan mereka bukan tentang memulai kisah cinta yang baru, melainkan tentang menyematkan makna pada waktu yang tersisa—waktu yang kini tidak lagi sendiri.
(Sulthan/NM)