Radarbuana | Jakarta, — Di tengah maraknya podcast politik dan diskusi publik daring, trio jurnalis Haris Jauhari (Pembina AJV), Didi Suprianto (Pendiri Detik), dan Nugroho F Yudo ( mantan Jurnalis Senior Kompas) berhasil mencuri perhatian lewat kanal mereka “Dear President” yang baru saja menayangkan episode ke-100. Podcast ini lahir bukan dari ambisi menjadi viral, tapi dari keinginan sederhana: berbicara langsung kepada Presiden RI, menyampaikan unek-unek dan masukan tanpa perlu menunggu momen resmi atau undangan kenegaraan.
“Sebetulnya kami bikin ini karena cuma pengen ngomong sama Presiden,” ujar Nugroho, salah satu host, dalam sebuah diskusi reflektif mengenai perjalanan kanal tersebut. “Kita tuh nggak peduli ada yang nonton atau enggak. Kalau Presiden dengar, udah cukup.” tambahnya.
Awal Mula “Dear Presiden”: Tak Pede Tapi Nekat
Podcast berdurasi rata-rata 10 hingga 15 menit ini berawal dari ide Haris dan Didi. Mereka mengajak Dok bergabung, meski awalnya ketiganya sempat ragu apakah ada audiens yang tertarik. “Kita tuh enggak percaya diri. Tapi ya udah, bikin aja. Eh ternyata malah banyak yang nonton,” kenang mereka.
Berbeda dengan kebanyakan podcast lain yang mengundang narasumber atau pakar, “Dear Presiden” mengandalkan pengalaman para host sebagai jurnalis generalis. “Kita kan wartawan. Tahu sedikit tentang banyak hal. Jadi bisa ngecap aja, asal tetap relevan,” ujar Haris sambil tertawa.
Karena keterbatasan itu pula, durasi singkat bukan sekadar pilihan kreatif tapi juga kebutuhan. “Kalau disuruh sejam, ya enggak bisa. Karena bahan kita ya cuma segitu,” lanjutnya.
Fokus Tunggal: Semua Harus Terkait Presiden
Ciri khas “Dear Presiden” adalah setiap topik, dari isu kecil sampai persoalan strategis, selalu diarahkan kepada Presiden. Bahkan ketika topik sulit dikaitkan, para host tetap mencari celah agar ada relevansi ke Istana.
Misalnya ketika membahas KDM (kemampuan dasar militer), mereka mencari koneksi ke Presiden yang sering menyinggung topik tersebut. Begitu pula dengan topik populer seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan peran Gibran Rakabuming, anak Presiden, dalam proyek tersebut.
“Kadang kita heran, kok menteri-menteri mulai ngomongin hal yang sama kayak kita bahas sebulan sebelumnya? Hubungannya ada atau enggak, kita enggak tahu. Tapi kita yakin, Presiden dengar,” kata Didi.
Episode Ke-100: Kritik Pedas soal “Beras Oplosan”
Dalam episode ke-100, trio jurnalis ini mengangkat isu sensitif: dugaan manipulasi narasi soal stok dan impor beras. Mereka mengkritik pernyataan menteri-menteri yang menyebut beras oplosan senilai Rp100 triliun beredar di masyarakat, seolah-olah menyalahkan pedagang dan petani.
“Kita pakai data pemerintah. Produksi beras kita 30 juta ton, kebutuhan cuma 22 juta ton. Artinya surplus, tapi kita masih impor. Itu kenapa?” tegas Haris.
Mereka juga mengkritik Bulog yang menumpuk stok hingga 4 juta ton, dengan sebagian besar beras diperkirakan sudah melewati masa simpan optimal empat bulan. “Kalau beras lama dilepas ke pasar, itu sumber beras oplosan sesungguhnya,” tambah Nugroho. Mereka menilai ada kecenderungan para pejabat ingin “menyenangkan Presiden” dengan memamerkan angka-angka, tanpa memperhitungkan efeknya ke masyarakat.
Bukan Gosip, Tapi Kritik Berbasis Data
Walau tayangan-tayangan berisi gosip atau “gibah” lebih banyak mendapat view, trio “Dear Presiden” sepakat tetap menyampaikan isu-isu penting, meski engagement turun. “Kita bukan tukang gibah, kita jurnalis. Kita tahu prioritas,” kata Didi.
Meski sering dianggap “sotau” karena bicara tanpa narasumber, mereka percaya latar belakang jurnalistik mereka memberi kredibilitas. “Banyak yang ngomong di luar sana enggak kompeten, partisan, enggak kredibel. Kita beda,” tegas mereka.
Apakah Efektif?
Ketika ditanya apakah “Dear Presiden” efektif menyampaikan pesan, mereka menjawab diplomatis. “Efektif atau enggak, kita enggak tahu pasti. Tapi yang jelas, kita lakukan ini karena kita peduli. Kalau didengar Presiden, ya itu bonus.” ungkap Nugroho.
Dengan gaya santai, tanpa teknis produksi rumit, mereka mengandalkan diskusi via grup chat untuk menentukan tema. Episode yang dinilai kurang berdampak bahkan kerap tak jadi tayang. Tapi bagi mereka, yang terpenting adalah menyuarakan kritik — dan berharap Presiden mendengar.
“Yang penting, kami tetap pada jalur. Bicara langsung ke Presiden. Karena ini negara kita semua, dan kritik adalah bentuk cinta.” pungkas Haris.
(Reporter: Migo)






