Radarbuana | Jakarta – Proses pengangkatan perwira tinggi di Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali menjadi perhatian publik setelah maraknya promosi jenderal baru yang diduga menyimpang dari sistem meritokrasi. Alih-alih mengedepankan prestasi dan kemampuan, promosi bagi sebagian anggota Polri kini disinyalir lebih didasarkan pada kedekatan.
Mencuat kritik dari masyarakat di berbagai media, dalam kurun waktu tiga bulan, antara Juli hingga Oktober 2025, tercatat ada 43 jenderal polisi baru yang dilantik. Sebanyak 15 di antaranya resmi menjadi brigadir jenderal pada Senin, 6 Oktober 2025.
Salah satu nama yang menjadi sorotan adalah Ahrie Sonta Nasution, mantan ajudan Presiden Prabowo Subianto, yang “pecah bintang” (naik pangkat menjadi jenderal) di usia 44 tahun. Sebagai lulusan Akademi Kepolisian tahun 2002, promosi ini dinilai sangat cepat, apalagi ia saat ini menjabat sebagai sekretaris pribadi Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Penunjukan ini seolah dikuatkan oleh Peraturan Kapolri Nomor 11 Tahun 2018 yang memang memungkinkan polisi yang selesai bertugas sebagai ajudan presiden atau wakil presiden untuk dipromosikan menjadi brigadir jenderal dengan “pertimbangan khusus”. Namun, peraturan ini dikritik karena dianggap tidak memiliki kriteria yang jelas, sehingga bisa menjadi pintu masuk bagi promosi yang tidak transparan.
Kritik ini menunjukkan bahwa klaim profesionalisme Polri bisa menjadi sekadar “pepesan kosong” jika promosi tidak didasarkan pada kinerja dan kapabilitas yang jelas. Sistem yang mengabaikan meritokrasi dikhawatirkan dapat memicu ketidakpuasan internal dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi Polri.
(Red)






