Radarbuana |Kendari— Sabtu malam di Tugu Persatuan, ribuan orang berkumpul, bukan untuk menonton konser atau debat politik, melainkan menyaksikan momen langka: pejabat tinggi negara memukul dimba—alat musik tradisional yang malam itu mendadak jadi simbol harmoni antara iman dan kebudayaan (serta sedikit protokoler).
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno datang mewakili Presiden Prabowo Subianto untuk membuka Seleksi Tilawatil Qur’an dan Musabaqah Al-Hadits (STQH) Nasional XXVIII Tahun 2025. Dengan tenang dan penuh wibawa, ia memukul dimba, diiringi tepuk tangan rakyat yang mungkin masih bingung apakah alat itu memang suci, sakral, atau sekadar “gong versi Kendari.”
Di panggung utama, Al-Qur’an dan Hadis disandingkan dengan tata cahaya yang megah—karena spiritualitas memang lebih menyentuh kalau dibungkus lighting 4.000 watt.
Dalam sambutannya, Pratikno mengingatkan bahwa Islam pernah menjadi mercusuar ilmu pengetahuan dunia. Sebuah kalimat yang selalu aman diucapkan di acara mana pun karena tak ada yang akan menyangkal. Ia menambahkan, para ilmuwan Muslim zaman dahulu bukan hanya ahli sains, tetapi juga penghafal Al-Qur’an. Kini, tentu kita berharap generasi muda bisa meniru mereka—asal tidak kebablasan menghafal teori relativitas sambil tilawah.
“Kemajuan tanpa akhlak ibarat pedang tajam di tangan orang yang matanya tertutup,” ujar Pratikno. Kalimat itu sontak mendapat tepuk tangan, mungkin karena terdengar sangat filosofis meski sebagian penonton lebih sibuk memikirkan bagaimana cara pedang bisa diasah tanpa membuka mata.
Sementara itu, Menteri Agama Nasaruddin Umar tampil dengan gaya khasnya: lembut, reflektif, dan penuh metafora. Ia menyebut STQH bukan hanya ajang lomba, tetapi juga wasilah spiritual untuk menumbuhkan generasi Qurani yang unggul dan peduli lingkungan.
“Merawat lingkungan adalah bentuk zikir sosial,” ujarnya. Pernyataan yang membuat sebagian hadirin bertepuk tangan, sementara pedagang di area bazar mungkin berpikir bahwa zikir sosial itu juga termasuk menjaga sampah dagangan agar tak berserakan.
Tema STQH kali ini — “Syiar Al-Qur’an dan Hadis: Merawat Kerukunan, Melestarikan Lingkungan” — benar-benar menggugah, karena di tengah panas politik dan kabut asap, mengingatkan orang pada dua hal yang sama-sama langka: kerukunan dan udara bersih.
STQH di Kendari kali ini melibatkan ribuan peserta dari 35 provinsi. Jumlah totalnya hampir empat ribu orang, termasuk dewan hakim, pelatih, dan pendamping — belum termasuk rombongan pejabat yang datang dan pergi dengan kecepatan cahaya (dengan iring-iringan sirene, tentu saja).
Selain lomba tilawah dan hadis, panitia juga menyiapkan expo UMKM, bazar, dan pasar rakyat. Karena di negeri ini, bahkan kegiatan yang paling spiritual pun tak lengkap tanpa stand es kelapa muda, pernak-pernik kaligrafi, dan promo minyak wangi sunnah “beli dua gratis doa.”
Namun di balik segala kesyahduan dan protokoler itu, STQH tetap menghadirkan pesan mendalam: bahwa Al-Qur’an bukan hanya untuk dilombakan, tetapi untuk dihidupi. Bahwa iman dan ilmu bukan dua kutub yang bertentangan, dan bahwa menjaga bumi mungkin memang lebih sederhana daripada menjaga microphone agar tak mati di tengah pidato pejabat.
Kendari malam itu menjadi saksi: di antara gema ayat suci, tabuhan dimba, dan aroma sate kambing di pinggir jalan, Indonesia masih berusaha keras memadukan iman, ilmu, dan ekonomi lokal dalam satu irama tilawah nasional.
Sulthan






